OKELAH

SELAMAT MENIKMATI WEB KAMI.......

Sabtu, 05 Februari 2011

ekonomi makro

III. TEORI EKONOMI MAKRO KEYNES


3.1. Dasar Filsafat Teori Keynes

Nuhfil Hanani 1

Pada mulanya, selama lebih dari 100 tahun setelah revolusi industri yang dimulai di
Inggris, negara-negara barat mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Keberhasilan ini
merupakan keberhasilan penerapan teori klasik yang mengandalkan sistem laissez-faire.
Namun, pada tahun 1930-an, negara-negara tersebut mengalami depresi dan
pengangguran yang hebat dan berkepanjangan. Dalam keadaan demikian kaum Klasik dan
Neo-Klasik tidak berdaya untuk memberi pemecahan permasalahan yang dihadapai dalam
perekonomian masyarakat Kaum sosialis di negara tersebut mengatakan bahwa penyebab
depresi itu adalah kesalahan pada sistem perekonomian itu sendiri, yaitu sistem laissez faire
atau liberalisme atau kapitalisme . Kaum sosialis berpandangan, selama suatu negara
mempercayakan pengelolaan perekonomian pada para produsen swasta yang per definisi
hanya bertujuan mengejar keuntungan sebesar-besarnya untuk mereka pribadi, maka depresi,
pengangguran, dan juga inflasi akan tetap menjadi penyakit perekonomian yang menghantui
dari waktu ke waktu. Oleh karenanya kaum sosialis mengusulkan perombakan sistem
perekonomian menjadi sistem sosialis, yaitu sistem di mana faktor-faktor produksi tidak bisa
dimiliki oleh pengusaha swasta, tetapi hanya dimiliki oleh masyarakat (negara). Semua
kegiatan produksi dikuasai negara, yang secara teoritis, akan mengutamakan kepentingan
masyarakat di atas kepentingan pribadi/golongan. Motif mengejar keuntungan tidak lagi
sebagai motif utama seperti pada sistem kapitalis.
“Obat” semacam itu ternyata dianggap terlalu radikal, sehingga orang-orang di
negara-negara Barat yang telah lama terbiasa dengan kebebasan berusaha tidak dapat
menerima begitu saja. Mengubah sistem seperti itu berarti mengubah kebiasaan dan cara
hidup yang sudah mendarah daging pada mereka. Mereka menghendaki obat yang tidak
terlalu pahit yang dapat menolong memecahlan masalah perekonomian mereka. Dalam
situasi demikian John Maynard Keynes (1883-1946) muncul menawarkan suatu pemecahan
yang merupakan “jalan tengah”. Keynes menawarkan untuk meninggalkan pemikiran kaum
Klasik murni. Keynes berpendapat, untuk mengatasi masalah krisis ekonomi tersebut,
Pemerintah harus melakukan lebih banyak campur tangan secara aktif dalam mengendalikan
perekonomian nasional. Kegiatan produksi dan pemilikan faktor-faktor produksi masih dapat
dipercayakan kepada swasta, tetapi Pemerintah wajib melakukan kebijakan-kebijakan untuk
mempengaruhi perekonomian. Misalnya, dalam masa depresi Pemerintah harus bersedia
melakukan kegiatan-kegiatan yang langsung dapat menyerap tenaga kerja yang tidak dapat


Nuhfil Hanani 2


bekerja pada swasta, walaupun hal ini dapat menyebabkan defisit dalam anggaran belanja
negara. Dalam hal ini Keynes tidak percaya pada sistem liberalisme yang mengoreksi diri
sendiri, untuk kembali pada posisi full employment secara otomatis. Full employment hanya
bisa dicapai dengan tindakan-tindakan tertencana, bukan datang dengan sendirinya. Inilah inti
dari ideologi “keynesianisme”. Pemikiran-pemikiran Keynes tersebut dituangkan dalam
bukunya yang berjudul “The General Theory of Employment, Interest, and Money
(1936)”.


3.2. Pasar Tenaga Kerja


Dalam bagian ini dibahas tentang bagaimana proses menurunkan kurva permintaan
dan penawaran tenaga kerja. Proses tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
3.2.1. Permintaan Tenaga kerja
Dalam analisis permintaan tenaga kerja diasumsikan bahwa pembeli tenaga kerja
adalah perusahaan dan penjual tenaga kerja adalah rumah-tangga. Oleh karena itu kurva
permintaan tenaga kerja diturunkan dari fungsi produksi perusahaan tersebut. Untuk analisis
ini pembahasan fungsi produksi didasarkan pada asumsi, (1) perusahaan-perusahaan
menghasilkan satu macam komoditas, (2) perusahaan-perusahaan bersifat homogen (
manajemen dan teknologi sama), dan (3) perusahaan-perusahaan dalam pasar bersaing
sempurna. Secara grafis, fingsi produksi perusahaan dapat ditunjukkan dalam Gb. 3.1
berikut. Sumbu vertikal menunjukkan jumlah kapital dan sumbu horizontal menunjukkan
jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk proses produksi dalam perusahaan. Kurva Q
adalah kurva iso-quant , yaitu tingkat produksi yang sama yang dihasilkan oleh berbagai
kombinasi kapital dan tenaga kerja.









K










∆ Q = ∆ N x MPPL
∆ Q = ∆ K x MPPK

Nuhfil Hanani 3

Dari 1) dan 2) diperoleh :

K1 R3

∆ N x MPPL = ∆ K x MPPK …. 3)
∆ N MPPL

R2 ------ = ---------- ……………... 4)

K2 R1
Q2

∆ K MPPK

MPPL
Q1 - -------- = slope isoquant ( -)
MPPK

0 N1 N2

N


Gb. 3.1 Fungsi Produksi Perusahaan




Anggap bahwa produk (Q) hanya dipengaruhi oleh tenaga kerja (N) dan kapital (K) dianggap
tetap. Secara matematis di tulis, Q = f (K / N). Secara grafis dapat digambarkan seperti pada
Gb. 3.2.


K


MPPL
- -------- = slope isoquat
MPPK
K K

Q3 Pada KK, slope isoquant Q1> Q2 > Q3

Q2
Q1

0 N1 N2 N3 N

Gb. 3.2. Grafik Q = F (K/N)





Gb. 3.2 menunjukkan bahwa semakin banyak tenaga kerja yang dikombinasikan dengan
kapital yang tetap untuk meningkatkan produksi, dalam hal ini dari Q1 ke Q3. Ini berarti
bahwa jika tenaga kerja semakin banyak digunakan maka setiap pekerja akan disertai dengan
kapital yang semakin sedikit. Jadi, tambahan output yang diperoleh dari tambahan “satu


Nuhfil Hanani 4


tenaga kerja lagi” menurun sejalan dengan tambahan tenaga kerjanya. Dengan kata lain
dapat dinyatakan bahwa marginal physical product (MPPL) menurun sejalan dengan
penambahan tenaga kerja. Apabila MPPL ini diplot sebagai fungsi dari tingkat tenaga kerja,
akan diperoleh kurva ber-slope negatif (downward-sloping) seperti ditunjukkan pada GB. 3.3.




MPPL MPPL= W/P



MPPL.1 (W/P)1


MPPL.2 (W/P)2

MPPL.3 (W/P)3


Nd
Nd

0 N1 N2 N3 N 0 N1 N2 N3 N

Gb. 3.3 Hubungan MPPL dan N dengan K tetap. Gb. 3.4 Kurva Permintaan N

Nd = Nd (W/P, K 1) ;
Nd’ = Nd (W/P, K 2)



Dari Gb.3.3 terlihat, jika dipekerjakan N1 maka produk phisik marjinal dari tenaga kerja
adalah MPPL.1. Jika dipekerjakan N2 maka produk phisik marjinalnya turun menjadi MPPL.2.
Dari berbagai alternatif output yang dapat diproduksi, mana yang harus dipilih agar
diperoleh keuntungan maksimum? Telah diketahui bahwa keuntungan maksimum diperoleh
ketika tingkat output diproduksi pada saat marginal cost (MC) = marginal revenue (MR).
Dalam pasar persaingan sempurna MR = P (harga). Jadi dalam perusahaan persaingan
sempurna , keuntungan maksimum diperoleh ketika memproduksi output di mana MC = P.
Per-definisi, MC adalah besarnya tambahan biaya yang diperlukan untuk menambah output
satu unit.
Dalam hal ini, perusahaan hanya menggunakan satu faktor variabel, yaitu tenaga
kerja. Dengan demikian jika ada tambahan satu unit tenaga kerja, maka biaya akan naik
sebesar harga per unit jasa tenaga kerja tersebut – yang dinamakan tingkat upah nominal, W.
Output akan naik sebesar MPPL. Hal ini berarti bahwa, jika ditambahkan satu tenaga kerja
lagi maka biaya akan naik sebesar W dan output naik sebesar MPPL. Jadi, MC = W/MPPL.
Sekarang kita dapat menulis kembali syarat maksimisasi keuntungan sebagai berikut :
W/MPPL = P atau W/P = MPPL.


Nuhfil Hanani 5


W/P dikenal sebagai tingkat upah riel, dengan satuan “komodities per man per time
period”. Satuan ini berasal dari :
$/man
W time
------ = ------------------- = commodity/man/time period.
P $ / commodity

Satuan ini menunjukkan daya beli komoditi dari upah dalam bentuk uang ( commodity-
puschasing power of the money wage).
Berdasarkan persamaan syarat maksimisasi diatas, Gb. 3.3 dapat diubah ke dalam
Gb.3.4. Gb. 3.4 menunjukkan hubungan antara harga tenaga kerja dengan jumlah tenaga
kerja yang diminta. Oleh karena itu kurva yang menunjukkan hubungan tersebut disebut
kurva permintaan tenaga kerja. Kurva tersebut ternyata terletak sepanjang kurva MPPL.
Perusahaan yang beroperasi berdasarkan kurva ini berarti memenuhi syarat maksimisasi
profit. Kurva garis putus menunjukkan kombinasi N dan K dengan K yang lebih banyak.


3.2.2. Penawaran Tenaga Kerja


Dalam analisis penawaran tenaga kerja, diasumsikan rumah tangga sebagai unit
fungsional ekonomi, harus membuat keputusan tentang :
1. Waktu kerja (work) dan waktu senggang (leisure) : rumah tangga harus memutuskan
berapa banyak waktu yang akan digunakan untuk bekerja dan berapa banyak waktu yang
akan digunakan untuk beristirahat/senang-senang.
2. Konsumsi dan tabungan : rumah tangga harus memutuskan berapa banyak pendapatannya
yang akan digunakan untuk konsumsi dan berapa yang akan ditabung.
3. Portfolio balance : dari uang yang ditabung berapa banyak yang berupa obligasi dan
berapa banyak yang berupa tabungan tunai.
4. Pola konsumsi : berapa banyak tiap komoditi dikonsumsi
Dalam bagian ini akan dikonsentrasikan pada bahasan keputusan rumah tangga
tentang work/leisure. Setiap individu diasumsikan memperoleh utiliti dari pendapatan dan
waktu senggang. Fungsi utiliti individual tersebut dapat ditunjukkan dalam Gb3.5 berikut.

Nuhfil Hanani 6









Komoditi per periode waktu

Y





Y1 R1
U2
R2
Y2 U1

U0


0 L1 L2 L ( jam per periode waktu)

Gb. 3.5 Fungsi Utiliti Individual

Nuhfil Hanani 7





Dalam upaya memaksimumkan utiliti seseorang dibatasi dua hal, (1) W (tingkat
upah) dan (2) jumlah tenaga-kerja yang tertentu. Proses maksimisasi utiliti tersebut dapat
ditunjukkan dalam Gb. 3.6 berikut. Pada titik T, seseorang memperoleh utiliti maksimum,
dengan pendapatan Y1 ( hasil kerja sebanyak ML1) dan waktu istirahat L1.








Y M = waktu (jam) dalam satu minggu = 168 jam

Y = pendapatan
Y’ L = waktu senggang
Slope Y’M = tg  = W/P (upah riel)

 T OL1 = waktu senggang
Y1 ML1 = waktu kerja

U1


0 L1 M L

Gb. 3.6. Maksimisasi utiliti


Nuhfil Hanani 8


Pada titik-titik disebelah kiri atau kanan T, seseorang memperoleh utiliti yang lebih rendah.
Pada Gb.3.6 ini, upah riel (W/P) dianggap tetap. Bagaimana sekarang jika tingkat upah
riel berubah? Apa yang terjadi pada penawaran tenaga kerja? Hal ini dapat diilustrasikan
pada Gb. 3.7 berikut.


Y


Y’’’

T
Y’’

T3
U3
Y’ T2

U2
T1 U1


ML = tenaga kerja yang ditawarkan




0 L3 L2 L1 M L
Gb. 3.7 Hubungan waktu kerja dengan upah riel yang berbeda.



Kurva M T1 T2 T3 = menunjukkan utiliti maksimum dengan tingkat upah riel yang berbeda.
Kurva tersebut merupakan kurva penawaran tenaga kerja yang berupa fungsi “upah riel” yang
meningkat secara monotonik. Untuk memudahkan membaca Gb. 3.7, gambar tersebut dapat
dirubah menjadi Gb. 3.8 berikut.


W/P


(W/P)3 NS = NS (W/P)


(W/P)2

(W/P)1




M L1 L2 L3 L

Gb. 3.8 Kurva Penawaran Tenaga Kerja.


Nuhfil Hanani 9


Kurva penawaran tenaga kerja dapat berbentuk “backward –bending” tergantung pada W/P
yang telah dicapai ( lihat Gb. 3.9).



NS = NS (W/P)

(W/P)3

(W/P)2





(W/P)1



0
M L1 L2 L3 L

Gb.3.9 Kurva Penawaran Tenaga Kerja “backward-bending”



Gb. 3.9 menunjukkan bahwa pada upah riel (W/P)2 pekerja siap bekerja dengan waktu
ML3, tetapi ketika upah riel dinaikkan menjadi (W/P)3 pekerja justru mengurangi waktu
kerjanya menjadi ML2. Hal ini menunjukkan bahwa pekerja memperhitungkan waktu
senggang (leisure) untuk kegiatan-kegiatan seperti istirahat, rekreasi, dan sebagainya.



3.2.3. Keseimbangan Pasar tenaga Kerja

Nuhfil Hanani 10


Secara grafis kondisi keseimbangan pasar tenaga kerja dapat digambarkan dalam Gb.
3.10 berikut:


(W/P)
NS = NS (W/P)

Excess Supply

(W/P)1
Gb. 3.10 Kondisi Keseimbangan
Pasar Tenaga Kerja
(W/P)*

(W/P)2
Excess demand ND = ND (W/P, K)


0 ND=NS= N



♦ Pada upah riel, (W/P)1, banyak orang mencari pekerjaan pada tingkat upah tersebut tetapi
tidak menemukan, sehingga terjadi kelebihan penawaran. Akhirnya pekerja mau bekerja
dengan tingkat upah yang lebih rendah dan kembali ke tingkat upah keseimbangan,
(W/P)*.
♦ Pada upah riel, (W/P)2, perusahaan mencari pekerja tetapi tidak menemukan sehingga
terjadi kelebihan permintaan. Akhirnya perusahaan bersedia membayar upah yang lebih
tinggi dan kembali ke (W/P)*.
♦ Pada tingkat upah riel, (W/P)* , dicapai keseimbangan pasar tenaga kerja.
Dalam mazhab Klasik, semua harga (termasuk harga tenaga kerja, yaitu upah)
bergerak fleksibel ke atas maupun ke bawah dan semua pelaku ekonomi bereaksi secara cepat
dan rasional terhadap perubahan harga tersebut. Dalam hal ini Kaum Keynes berpendapat
bahwa anggapan-anggapan dasar Kaum Klasik tersebut tidak selalu cocok dengan dunia
nyata. Proses menuju keseimbangan baru, menurut Keynes, kadang-kadang memakan waktu
yang cukup lama, tergantung pada berapa besar hambatan-hambatan yang merintangi proses
tersebut. Hambatan-hambatan tersebut termasuk : (a) ketegaran dan fleksibilitas yang tidak
sempurna dari harga-harga dan upah, meskipun terjadi pengangguran yang besar, dan (b)
kelambatan reaksi para pelaku ekonomi (produsen, konsumen, buruh) terhadap kondisi
ekonomi yang baru karena , misalnya, tidak diperolehnya informasi yang cukup mengenai
kondisi ekonomi yang baru tersebut. Jadi menurut Keynes, walaupun terjadi keadaan depresi
dan pengangguran yang besar, tingkat upah bersifat tegar (tidak mudah turun), sehingga
proses menuju keseimbangan dapat berlangsung lama, bahkan bisa terjadi unequilibrium

Nuhfil Hanani 11


(ketidakseimbangan). Artinya, bisa terjadi excess supply atau excess demand dalam pasar
tenaga kerja.


3.3. Pasar Barang


Kemungkinan Kelebihan Produksi. Keynes menolak hukum Say. Menurut Keynes
kelebihan produksi secara umum bisa terjadi. Kelebihan produksi terjadi karena permintaan
masyarakat terhadap barang-barang dan jasa tidak cukup kuat. Permintaan yang ada tidak
cukup untuk menyerap barang dan jasa yang dirawarkan. Bagaimana keadaan ini bisa
terjadi? Keynes, dalam hal ini masih menerima pendapat Say, bahwa setiap proses
produksi berakibat ganda , yaitu : (1) menghasilkan output dan (2) menghasilkan
penghasilan kepada masyarakat sebesar nilai output tersebut. Dengan demikian jika semua
penghasilan tersebut dibelanjakan untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi maka
tidak akan ada kelebihan produksi. Namun, pada kenyataannya, penghasilan masyarakat
tidak seluruhnya dibelanjakan di pasar barang, melainkan sebahagian di tabung. Jumlah yang
ditabung ini bukan merupakan permintaan efektif di pasar barang.
Untuk dapat lebih jelas menerangkan pendapat Keynes kita anggap hanya ada dua
sektor : yaitu rumah-tangga dan perusahaan. Bagian penghasilan yang tidak dibelanjakan (
di tabung di Bank) oleh sektor rumah-tangga di pasar barang tidak merupakan permintaan
efektif. Hanya jika penghasilan yang ditabung tersebut dipinjamkan kepada perusahaan
untuk “investasi” oleh Bank , maka penghasilan tersebut akan menjadi permintaan efektif di
pasar barang. Jadi jelas bahwa tidak ada jaminan bahwa seluruh penghasilan masyarakat
yang ditabung dapat diterjemahkan sebagai permintaan efektif di pasar barang. Hal ini
tergantung pada perusahaan, mau atau tidak, meminjam uang di Bank untuk investasi. Jika
perusahaan hanya meminjam uang separoh dari jumlah tabungan yang ada maka berarti
hanya sebesar separoh dari jumlah tabungan tersebut yang dapat menjadi permintaan efektif
di pasar barang. Dengan demikian permintaan efektif di pasar barang lebih kecil dari nilai
seluruh output yang ditawarkan di pasar barang. Dengan kata lain akan terjadi kelebihan
produksi.
Apa akibatnya bila terjadi kelebihan produksi? Pertama, perusahaan akan
mengurangi produksinya pada periode berikutnya, berarti GDP periode berikutnya akan
menurun. Kedua, ini bisa terjadi bersamaan dengan kejadian pertama, yaitu harga-harga
barang dan jasa turun. Ini sesuai dengan hukum permintaan-penawaran, dimana jika
permintaan lebih kecil dari penawaran maka harga akan cenderung turun. Seberapa besar

Nuhfil Hanani 12


pengaruh kurangnya permintaan efektif terhadap turunnya GDP dan harga, tergantung pada
fleksibilitas harga untuk turun. Jika harga cukup fleksibel untuk turun maka pengaruh
kurangnya permintaan efektif terhadap turunnya GDP dan harga adalah kecil. Sebaliknya jika
harga cukup tegar (tidak fleksibel) untuk turun maka pengaruhnya juga cukup besar.


Kemungkinan Kekurangan Produksi. Menurut kaum Keynesian, kekurangan
produksi juga mungkin terjadi. Apabila perusahaan melakukan investasi lebih besar dari
jumlah tabungan masyarakat di Bank maka permintaan efektif di pasar barang akan lebih
besar dari jumlah barang / jasa yang ditawarkan. Perlu diingat disini bahwa besar kecilnya
permintaan efektif di pasar barang tergantung pada keputusan rumah-tangga untuk
konsumsi dan keputusan perusahaan untuk investasi. Menurut Keynes, umumnya keputusan
rumah-tangga untuk konsumsi cukup stabil. Jumlah konsumsi biasanya berubah ( naik) jika
pendapatan rumah-tangga naik. Sedangkan keputusan perusahaan untuk investasi biasanya
sukar diterka. Oleh karenanya, gejolak pengeluaran investasi inilah yang sangat menentukan
gejolak GDP dan kesempatan kerja.
Apabila pengeluaran investasi oleh perusahaan lebih besar dari dana yang ditabung
oleh rumah-tangga di Bank maka berarti permintaan efektif di pasar barang lebih besar dari
tingkat output masyarakat. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya GDP dan harga pada
periode berikutnya. Pengaruh kekurangan produksi terhadap kenaikan GDP dan harga sangat
tergantung pada tersedianya kapasitas produksi yang belum terpakai di masyarakat. Jika
kapasitas produksi masih tersedia maka kurangnya produksi di pasar barang akan
meningkatkan GDP tanpa meningkatkan harga. Namun, jika kapasitas produksi telah penuh
maka kurangnya produksi tersebut tidak akan meningkatkan GDP, melainkan hanya akan
meningkatkan harga atau inflasi.
Berikut ini akan kita bahas lebih mendalam tentang pasar barang tersebut. Faktor-
faktor apa yang menentukan penawaran dan permintaan agregat serta keseimbangan di pasar
barang akan dibahas satu per satu.


3.3.1. Penawaran Barang


Model penawaran barang lebih sederhana dibandingkan dengan model permintaan.
Oleh karenanya model penawaran kita bahas lebih dulu. Seperti telah didiskusikan dalam
bab terdahulu bahwa penawaran komoditi datang dari perusahaan. Dari Gb. 3.2 terlihat
bahwa output, Q, ditentukan oleh jumlah tenaga kerja, N, yang dikombinasikan dengan

Nuhfil Hanani 13


kapital yang tetap, K. Jumlah N yang diminta perusahaan ditentukan oleh tingkat upah riel,
W/P. Bagaimana hubungan antara output agregat dan jumlah tenaga kerja agregat dapat
ditunjukkan dalam Gb. 3.11 berikut. Pemberian simbol Y untuk output karena secara umum
pendapatan riel diberi simbol Y ( superskrip S menunjukkan penawaran), sedangkan secara
agregat pendapatan riel masyarakat sama dengan nilai output yang diproduksi masyarakat.
Dengan demikian, output, penawaran barang, dan pendapatan riel merupakan istilah yang
sama. Hubungan N dan YS atau fungsi produksi tersebut berbentuk konkaf yang
menunjukkan adanya phenomena “diminishing return”.







YS

YS = YS ( K/N)
YS3


YS2


YS1


0 N1 N2 N3 N

Gb. 3.11. Hubungan Tenaga Kerja dengan Output Agregat


Bagaimana hubungan antara fungsi penawaran tenaga kerja dan fungsi penawaran barang
dapat ditunjukkan dalam Gb. 3.12 a dan Gb.3.12b.






W/P Gb. 3.12a . Fungsi Tnaga Kerja
NS = NS (W/P)

NS’ = NS’ (W/P)


(W/P)*1
(W/P)*2
ND = ND (W/P, K)


N*1 N*2 N
YS
YS = YS ( N,K) ∂ YS/ ∂ N > 0
YS*2
YS*1




Gb. 3.12b. Fungsi Produksi


N*1 N*2 N

Nuhfil Hanani 14



Pada posisi awal, pasar tenaga kerja dalam keadaan keseimbangan dengan tingkat upah riel,
(W/P)*1, dan jumlah tenaga kerja, N1*. Jumlah tenaga kerja ini yang dikombinasikan dengan
stok kapital yang tetap,K, akan menghasilkan penawaran barang sejumlah YS*1. Sekarang
jika kurva penawaran tenaga kerja bergeser ke kanan ( misalnya, karena kebijakan imigrasi),
maka upah riel keseimbangan akan turun ke (W/P)*2 dan jumlah tenaga kerja naik ke N*2.
Dengan jumlah tenaga kerja ini, penawaran barang akan meningkat menjadi YS*2.


Nuhfil Hanani 15


Penawaran agregat mempunyai kesamaan dengan penawaran pasar dalam ekonomi
mikro. Dalam jangka pendek , kurva penawaran seorang produsen adalah kurva marginal cost
(MC) nya. Kurva Penawaran Agregat merupakan penjumlahan dari semua kurva MC
produsen yang ada dalam suatu perekonomian. Bentuk umum kurva penawaran agregat
adalah sebagai berikut ( Gb. 3.12.c).



P
P = tingkat harga umum
S
Q = Output agregat/penawaran agregat


C
A B



O QL QM Q Gb. 312c. Kurva Penawaran Agregat



Terdapat tiga bagian kurva yang perlu dibedakan. Bagian A-B menunjukkan masih terdapat
kelebihan kapasitas produksi di pabrik-pabrik. Pada bagian ini penambahan produk tidak
meningkatkan MC sehingga tidak meningkatkan harga. Bagian B-C menunjukkan keadaan
kapasitas produksi yang sudah mulai ketat. Pada bagian ini berlaku The Law of Deminishing
Returns. Pada bagian ini produksi masih dapat ditingkatkan sampai pada QM dengan MC
yang meningkat. Output QM adalah yang maksimum dari kapasitas produksi yang terpasang.
Pada tingkat output ini berapapun input ditambahkan tidak bisa lagi menambah output. Atau
berapapun tingginya harga output di pasar tidak akan diikuti oleh kenaikan output.


3.3.2. Permintaan Barang


Untuk memudahkan pembahasan permintaan barang ini, kita anggap untuk sementara
bahwa perekonomian disuatu negara adalah perekonomian tertutup ( yaitu tidak melakukan
transaksi dengan luar negeri) dan pemerintahnya ikut berbelanja dalam pasar barang. Secara
keseluruhan Permintaan Agregat sama saja dengan Penawaran Agregat , yang selanjutnya
kita beri simbol Z. Di dalam perekonomian tertutup, permintaan agregat terdiri dari tiga
unsur, yaitu (1) permintaan efektif dari rumah-tangga akan barang-barang konsumsi, yang
diberi simbol C, (2) permintaan efektif dari perusahaan untuk investasi, yang diberi simbol I ,

Nuhfil Hanani 16


dan (3) permintaan efektif dari pemerintah, yang diberi simbol G. Permintaan agregat
tersebut dapat ditulis dalam bentuk persamaan identitas sebagai berikut .


Z = C + I + G



Sekarang akan kita bahas faktor-faktor apa yang menentukan masing-masing unsur
permintaan efektif tersebut.


Faktor Yang Menentukan Permintaan Konsumsi, C.


Telah didiskusikan diatas bahwa proses produksi akan menghasilkan pendapatan
dalam masyarakat ( bagi rumah-tangga). Selanjutnya pendapatan tersebut menimbulkan
permintaan efektif di pasar barang, yaitu permintaan efektif untuk barang-barang konsumsi
oleh rumah-tangga, C. Namun, tidak semua pendapatan tersebut dibelanjakan di pasar
barang, melainkan ada yang ditabung. Bagian yang ditabung ini, umumnya diberi simbol S.
Hubungan antara pendapatan, output, tingkat konsumsi, dan tingkat tabungan dapat
ditunjukkan dalam persamaan identitas berikut.



Y = Q
Y = C + S
Q > C


Keynes menyatakan bahwa setiap masyarakat mempunyai kebiasaan tertentu
mengenai berapa banyak dari pendapatan rumah-tangga yang dibelanjakan untuk barang-
barang dan jasa (C) dan berapa yang untuk ditabung (S). Untuk negara-negara
berpenghasilan tinggi, biasanya persentase penghasilan yang ditabung relatif tinggi, berarti
persentase yang dibelanjakan relatif rendah. Sebaliknya, untuk negara-negara berpenghasilan
rendah, persentase penghasilan yang ditabung umumnya juga rendah, berarti persentase yang
dibelanjakan relatif tinggi. Persentase penghasilan yang ditabung tersebut disebut propensity
to save (mps) ( kecenderungan untuk menabung dari masyarakat), yang diberi simbol huruf S
kecil, s. Sedangkan persentase penghasilan yang dibelanjakan disebut propensity to consume
(mpc) ( kecenderungan untuk berkonsumsi dari masyarakat) , yang diberi simbol huruf C
kecil, c. Sehingga secara matematis tingkat konsumsi dan tabungan tersebut dapat ditulis
sebagai berikut.






S = s YS (fungsi tabungan)
C = c YS (fungsi konsumsi)
C + S = c YS + s YS = (c+s) YS
c + s = 1

Nuhfil Hanani 17




Fungsi konsumsi (consumption function) dan fungsi tabungan (saving function) diatas
merupakan bentuk fungsi yang paling sederhana. Fungsi konsumsi/tabungan tersebut dapat
dikembangkan, misalnya dengan memasukkan variabel lainnya seperti tingkat bunga dan
aset (kekayaan). Untuk analisis makro, dapat digunakan salah satu dari kedua persamaan
tersebut, karena persamaan yang satu dapat dicari dari persamaan lainnya. Bentuk fungsi
konsumsi sederhana lainnya adalah C = a + cYs, dimana a menunjukkan tingkat konsumsi
minimal. Bentuk fungsi ini sering disebut fungsi konsumsi jangka pendek. Sedangkan C = c
YS, disebut sebagai fungsi jangka panjang. Demikian pula untuk fungsi tabungan jangka
pendek, dapat berbentuk S = -a + s YS, dimana -a adalah jumlah tabungan pada saat
pendapatan nol. Untuk fungsi tabungan jangka panjang, ditulis : S = sYS.


Nuhfil Hanani 18


Secara grafis fungsi konsumsi dan fungsi tabungan tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut (Gb. 3.13). Disamping mpc dan mps, untuk fungsi jangka pendek perlu diperhatikan
macam propensity yang lain, yaitu average propensity to consume ( apc) dan ( aps). Average
propensity to consume (apc) adalah proporsi dari penghasilan yang dibelanjakan untuk
konsumsi, yaitu C/Y = (a+cY)/Y = a/Y +c. Average propensity to save (aps) adalah
proporsi dari penghasilan yang ditabung, yaitu S/Y = (-a + sY)/Y =
-a/Y +s.



C,S,Y
Y =Y
C = a + cY
∆C ∆C/ ∆Y = c
∆Y ∆S/ ∆Y = s

a S = -a +sY


450


∆Y ∆S


Y
-a




Gb. 3.13. Fungsi Konsumsi dan Fungsi Tabungan



c = marginal propensity to consume (mpc) = ∂ C/∂Y
s = marginal propensity tosave (mps) = ∂ S/∂Y
Nilai c diasumsikan antara 0 dan 1 0 < c < 1 Per definisi maka s = 1-c. Faktor Yang Menentukan Permintaan Perusahaan Untuk Investasi (I). Investasi adalah pengeluaran sektor perusahaan untuk pembelian barang-barang/jasa untuk tujuan investasi, yaitu berupa tambahan stok kapital, misalnya untuk pembelian mesin. Berbeda dengan tujuan pengeluaran rumah-tangga, yaitu untuk konsumsi, pengeluaran perusahaan bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Jadi, pertimbangan-pertimbangan yang diambil oleh perusahaan untuk memutuskan apakah membeli atau tidak barang-barang / jasa Nuhfil Hanani 19 untuk investasi adalah besar kecilnya harapan keuntungan yang akan diperoleh dari menanamkan investasi tersebut. Untuk mendapatkan dana investasi, perusahaan mempunyai kemungkinan yang luas. Selain dapat berasal dari penghasilan yang ada di kas perusahaan, mereka dapat meminjam dana dari lembaga-lembaga keuangan. Asal saja perusahaan dapat meyakinkan lembaga keuangan yang akan meminjami dana (biasanya melalui proposal) bahwa investasi yang akan dilakukan dapat mendatangkan keuntungan yang cukup besar di masa mendatang, maka lembaga keuangan tersebut sangat mungkin bersedia meminjami dana investasi tersebut. Jadi, perusahaan tidak perlu mengandalkan dana milik sendiri untuk belanja barangnya, seperti pada rumah-tangga. Dengan kata lain, besar kecilnya investasi (I), tidak tergantung pada pendapatan (Y) seperti halnya konsumsi (C), melainkan tergantung pada faktor harapan keuntungan. Berikut ini akan dibahas lebih mendalam tentang kedua faktor ( kemungkinan meminjam dana pihak lain dan harapan keuntungan) yang mempengaruhi keputusan perusahaan untuk menentukan besarnya investasi (I). 1). Kemungkinan Meminjam Dana Pihak Lain . Perusahaan-perusahaan dapat meminjam dana investasi dari pihak lain, baik dari pasar uang tidak resmi ( informal money market), sektor perbankan, atau dari pasar surat berharga (atau sering disebut pula dengan bursa efek-efek atau pasar modal). Baik dalam pasar uang tidak resmi maupun dalam pasar uang resmi, seperti dalam pasar lainnya, terdapat penawaran dan permintaan uang. Dari penawaran dan permintaan ini ditentukan volume uang yang dipinjamkan dan “harga” uang , yang tidak lain adalah tingkat bunga. Tingkat bunga ini merupakan biaya yang harus dibayar oleh perusahaan yang meminjam dana untuk investasi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa besarnya investasi (I) sangat tergantung pada tingkat bunga (r). 2). Faktor Harapan Keuntungan. Keuntungan yang diharapkan biasanya dinyatakan dalam dua dimensi : (1) dimensi yang menunjukkan berapa besar keuntungan yang akan diperoleh dari setiap unit uang ( misal, setiap rupiah) yang diinvestasikan, (2) dimensi waktu yang menunjukkan berapa lama aliran keuntungan ini berlangsung. Besarnya keuntungan bisa dinyatakan dalam “keuntungan kotor” dalam persentase per-tahun ( atau satuan waktu lainnya). Keuntungan kotor adalah keuntungan bersih plus bunga. Misalnya, keuntungan yang diharapkan 50%, berarti setiap rupiah dana yang diinvestasikan akan menghasilkan keuntungan 0,5 rupiah per-tahun. Dimensi waktu Nuhfil Hanani 20 menunjukkan berapa lama aliran keuntungan 50% tersebut berlangsung, atau berapa lama umur ekonomis dari barang investasi tersebut (misal, 10 tahun). Dalam teori makro Keynes keputusan investasi tersebut tergantung pada perbandingan antara harapan keuntungan dan tingkat bunga. Seandainya tingkat bunga yang berlaku di pasar adalah 24% per-tahun, sedangkan harapan keuntungan dari investasi adalah 50%, maka investasi tersebut layak dilakukan karena bisa memperoleh keuntungan bersih 50% - 24% = 26% per-tahun selama umur ekonomis investasinya. Tingkat keuntungan yang diharapkan tersebut dikenal dengan istilah Marginal Efficiency of Capital (MEC). Hubungan antara MEC dan tingkat bunga (r) secara ringkas dapat dinyatakan : Bila MEC > r : investasi dapat dilakukan
Bila MEC < r : investasi tidak dilakukan Bila MEC = r : investasi boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan Untuk analisis pengaruh MEC dan r terhadap besarnya I, biasanya diringkas dalam bentuk suatu fungsi, yang disebut fungsi investasi, secara matematis dinyatakan sebagai : I = f(r) Cara menurunkan fungsi investasi ini adalah sebagai berikut : Misalnya, terdapat 5 jenis proyek investasi dengan masing-masing MEC sebagai berikut : Proyek Nilai Investasi (Rp. Juta) MEC (%) A B C D E 100 200 50 150 75 50 40 35 20 15 Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa jika tingat bunga = 48% per-tahun maka proyek yang menguntungkan adalah A dengan jumlah investasi Rp.100 juta. Jika tingkat binga = 36%, maka proyek yang menguntungkan adalah proyek A dan B dengan jumlah investasi Rp. 300 juta. Selanjutnya dengan cara yang sama dapat dihitung untuk tingkat bunga 24% dan 12% per-tahun. Hasil perhitungan seperti ini dapat ditabulasikan menjadi sebagai berikut: Tingkat bunga (%/bulan) Nilai Investasi (Rp.juta) 5 0 4 100 3 300 2 350 1 575 Nuhfil Hanani 21 Tabel ini bisa digambarkan dalam bentuk kurva yang menghubungkan antara tingkat bunga yang berlaku dengan pengeluaran investasi oleh para investor. Kurva ini (lihat Gb. 3.14) dinamakan kurva fungsi investasi (atau fungsi MEC). Kurva ini terlihat patah-patah karena jumlah proyek investasinya hanya terbatas, dalam hal ini hanya lima macam. Jika jumlah proyek investasinya banyak sekali maka kurvanya akan berupa kurva yang “halus”. Tingkat bunga (%/bulan) Tingkat bunga (%/ bulan) r (%) 4 3 2 1 100 300 350 575 I (Rp.juta) 0 I Gb. 3.14a. Kurve Patah Gb. 314b. Kurve Halus Faktor Yang Menentukan Pengeluaran Pemerintah (G). Pengeluaran pemerintah (G) adalah semua pembelian barang-barang dan jasa-jasa oleh pemerintah. Yang dimaksud barang dan jasa dalam hal ini adalah barang dan jasa produksi tahun yang bersangkutan. Barang-barang dan jasa-jasa produksi tahun lalu yang dibeli tahun ini bukan merupakan bagian dari G tahun ini. Misalnya, pemerintah pada tahun ini ( 2001) membeli mobil buatan tahun 2000, maka pengeluaran pemerintah ini tidak Nuhfil Hanani 22 termasuk G tahun 2001, walaupun anggaran untuk membeli mobil tersebut tercatat dalam APBN tahun 2001. Disamping itu perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud barang dan jasa di sini adalah barang dan jasa hasil proses produksi. Pembelian tanah, pembayaran gaji pegawai , dan sebagainya tidak termasuk pengeluaran pemerintah (G), karena tanah dan gaji bukan hasil proses produksi. Tanah dan gaji adalah faktor produksi. Jadi, pengeluaran pemerintah ini dilakukan di pasar faktor produksi, bukan di pasar output (barang). Sedangkan G adalah hanya pengeluaran pemerintah di pasar barang. Oleh karena itu tidak seluruh pos pengeluaran dalam APBN adalah G. Kita harus meneliti pos-posnya. Hanya pos-pos pengeluaran yang menyangkut pembelian barang/jasa hasil produksi tahun yang bersangkutan yang dapat dimasukkan ke dalam unsur G. Faktor-faktor apakah yang menentukan besarnya G dalam periode tertentu? Karena G merupakan bagian dari APBN maka dapat dikatakan bahwa yang menentukan G adalah juga faktor-faktor yang menentukan APBN. APBN kita dalam praktek ditentukan berdasarkan pertimbangan yang komplek, terutama didasarkan atas pertimbangan sosial-ekonomi-politik. Dalam teori ekonomi makro kita katakan bahwa G merupakan variabel eksogen 1. Konsep Pelipat Atau Multiplier Diatas telah dibahas faktor-faktor yang menentukan permintaan agregat (Y), yang dalam ekonomi tertutup sama dengan pengeluaran agregat. Pertanyaan selanjutnya adalah berapa besar perubahan Y apabila salah satu unsurnya ( apakah C, I, atau G) berubah? Misalnya, jika investor meningkatkan investasinya sebesar ∆I, apa yang terjadi pada permintaan agregat/pengeluaran agregat (Z) ? Apakah Z akan bertambah sebanyak ∆I ?. Menurut Keynes, jawabannya tidak. Sebabnya adalah bahwa pengeluaran masyarakat sebesar ∆I akan mempunyai akibat berantai (multiplier effect). Proses multiplier effect tersebut adalah sebagai berikut. Pada putaran pertama, investor membelanjakan ∆I di pasar barang akan meningkatkan Y sebesar ∆I. Uang senilai ∆I tersebut diterima oleh penjual barang/jasa yang dibeli investor, sehingga menambah pendapatannya sebesar ∆Y. Pada putaran kedua, tambahan pendapatan tersebut akan meningkatkan pengeluaran konsumsi sebesar c∆Y yang sama dengan c∆I. Jumlah ini akan dibelanjakan di pasar barang sehingga menambah lagi Z sebesar c∆I. Jadi pada akhir putaran 1) Variabel eksogen adalah variabel yang nilainya tidak ditentukan oleh model ( ditentukan oleh faktor di luar model). Nuhfil Hanani 23 kedua, Z akan bertambah sebesar ∆I + c∆I. Tambahan pengeluaran konsumsi pada tahap putaran kedua ini akan diterima oleh para penjual barang/jasa sehingga menambah pendapatannya sebesar ∆Y yang sama dengan c∆I. Pada putaran ketiga, tambahan pendapatan tersebut akan dibelanjakan untuk barang/jasa konsumsi sebanyak c(c∆I) = c2∆I. Proses ini akan berlangsung terus-menerus. Secara matematis proses multiplier effect tersebut dapat ditulis sebagai berikut. ∆Z = ∆I + c∆I + c2∆I + c3∆I +………… ( 1+c+c2+c3+ …..) ∆I 1 1 Karena 0< c <1, maka 1+c+c2+c3+ ….. = ------- , sehingga ∆Z = ------ ∆I. 1 – c 1 - c Karena 1/(1-c) >1, maka tambahan investasi sebesar ∆I akan mengakibatkan tambahan Z
(=∆Z) lebih besar dari ∆I. Angka 1/(1-c) diatas disebut pelipat pendapatan (income
multiplier) atau pelipat pengeluaran (expenditure multiplier) atau dapat pula dikatakan
sebagai pelipat permintaan agregat ( aggregate demand multiplier).
Sekarang bagaimana pengaruh ∆G terhadap Z? Jawabannya sama dengan pengaruh
∆I yang telah dijelaskan diatas. Jadi ∆Z = 1/(1-c) ∆G. Sebagai contoh, jika c = 0,6 maka
kenaikan pengeluaran pemerintah (∆G) sebesar Rp.5 juta,- akan meningkatkan permintaan
agregat (∆Z) sebesar 1/(1-0,6) Rp.5 juta = Rp. 20 juta,-. Proses pelipatan tersebut dapat
digambarkan secara grafis sebagai berikut (Gb. 3.5.):




Z
D B

Z1 (C+I+G) + ∆ I
C E
(C+I+G)
Z0 A
C






450

0 Y0 Y1 Y

Gb. 3.15 Proses Pelipatan

Nuhfil Hanani 24


Mula-mula perekonomian pada posisi A, dengan permintaan agregat 0Z0 dan pendapatan
agregat 0Y0. Kemudian ada kenaikan I sebesar ∆ I. Pada putaran pertama, Z akan
meningkat sebesar AC. Jumlah ini akan diterima oleh penjual barang yang dibeli investor
sebagai pendapatan tambahan sebesar CE ( =AC karena ACE adalah sama kaki). Pada
putaran kedua, pendapatan tambahan tersebut dibelanjakan oleh penerima pendapatan pada
putaran pertama untuk membeli barang-barang konsumsi. Jumlah yang dibelanjakan adalah
mpc (c) kali CE, yang besarnya sama dengan ED. Dan ED ini menambah Z. Demikian
seterusnya proses tersebut berjalan dan berhenti bila telah sampai pada titik B. Akhirnya Z
akan naik dari Z0 ke Z1 dan Y dari Y0 ke Y1.




3.3.3. Keseimbangan di Pasar Barang


Pada sisi permintaan, telah dibahas, bahwa permintaan agregat = pengeluaran agregat
= pendapatan agregat. Kondisi ini dikatakan sebagai posisi keseimbangan pada sisi
permintaan ( keseimbangan parsial). Keseimbangan ini belum berarti tercapai keseimbangan
di pasar barang. Keseimbangan di pasar barang tercapai jika permintaan agregat sama dengan
penawaran agregat. Keseimbangan ini merupakan keseimbangan yang sesungguhnya dari
suatu perekonomian. Secara grafis, keseimbangan ini dapat digambarkan sebagai berikut
(Gb. 3.16.).




P
Gb. 3.16. Keseimbangan Pada Pasar Barang
S




P1 F
P0
E

Z1
Z0

0 Q0 Q1 Q

Nuhfil Hanani 25


Sebelum ada investasi keseimbangan ada pada titik E, dimana permintaan agregat =Z0,
penawaran agregat = Q0, dan harga umum = P0. Setelah ada investasi sebesar ∆ I, permintaan
agregat menjadi Z1, penawaran agregat menjadi Q1, harga naik menjadi P1 dan keseimbangan
menjadi titik F. Pada keseimbangan ini tidak ada kecenderungan bagi Z, P, maupun Q untuk
berubah. Dari proses keseimbangan ini kita sekarang dapat menjawab pertanyaan
bagaimana pengaruh perubahan permintaan agregat terhadap besarnya output agregat dan
perubahan harga.


3.4. Pasar Uang


Uang dapat didefinisikan sebagai suatu yang berfungsi :
a) Medium pertukaran untuk barang-barang, jasa-jasa, aset-aset, dan pembayaran kembali
utang ( medium of exnge for goods, services, assets, and repayment of debts)
a) Penyimpan kekayaan ( store of wealth)
b) Pengukur nilai (unit of account)
c) Standar pembayaran masa depan (standard for deffered payments) (Glahe,1977 : 133).
Di pasar uang, penawaran uang bertemu dengan permintaan uang dan menentukan
harga uang, yaitu tingkat bunga. Penawaran uang dianggap ditentukan oleh pemerintah,
sehingga identik dengan jumlah uang yang beredar. Permintaan uang, ditentukan oleh motif
penggunaan uang. Menurut Keynes, terdapat tiga motif seseorang memegang uang :
a) Motif transakasi
b) Motif berjaga-jaga
c) Motif spekulasi.
Keynes menerima pendapat Klasik bahwa orang memegang uang guna memenuhi dan
melancarkan transaksi-transaksi yang dilakukan, dan permintaan uang dari masyarakat untuk
tujuan ini dipengaruhi oleh tingkat pendapatan nasional. Namun, Keynes berpendapat
bahwa selain untuk transaksi, orang memegang uang juga untuk pembayaran-pembayaran
yang tidak terencana, misalnya pembayaran pengobatan karena sakit, sumbangan sosial,
bepergian mendadak, dan sebagainya. Motif ini disebut motif berjaga-jaga (precautionary
motive). Permintaan uang untuk jaga-jaga ini dipengaruhi oleh faktor sama dengan faktor
yang mempengaruhi permintaan uang untuk transaksi. Jadi, permintaan uang untuk transaksi
dan berjaga-jaga (MD.tj) = f (kY).
Pendapat Keynes yang berbeda dengan Klasik adalah adanya motif permintaan uang
untuk tujuan spekulasi. Motif pemegangan uang ini terutama bertujuan untuk memperoleh

Nuhfil Hanani 26


keuntungan jika seandainya si pemegang uang dapat memperkirakan keadaan yang akan
terjadi dengan benar. Teori Keynes membatasi bahwa pemilik kekayaan (asset holder) dapat
memilih apakah memegang kekayaannya dalam bentuk uang tunai atau obligasi (bond).
Memegang uang dianggap tidak memperoleh penghasilan, sedangkan memegang obligasi
dianggap memperoleh penghasilan berupa sejumlah uang tertentu setiap periode. Model
Keynes membahas khusus obligasi yang menghasilkan uang tertentu setiap periode selama
waktu yang tak terbatas (perpetuity). Harga Obligasi berbanding terbalik dengan tingkat
bunga. Hubungan harga obligasi dengan tingkat bunga dapat ditulis sebagai berikut:


K = rP atau P = K/r


Di mana K = hasil yang diperoleh per periode; P = harga pasar obligasi ; r =tingkat bunga.
Dengan demikian, seseorang akan memutuskan untuk membeli atau menjual obligasi sangat
ditentukan oleh ramalan atau harapan berapa tingkat bunga yang berlaku di masa mendatang.
Jika tingkat bunga di waktu mendatang diperkirakan naik, maka seseorang akan menjual
obligasinya dan memegang kekayaannya dalam bentuk uang tunai untuk menghindari
kerugian kapital (capital loss) yang mingkin terjadi. Sebaliknya jika di masa mendatang
tingkat bunga diperkirakan turun maka seseorang akan membeli obligasi, dengan harapan
memperoleh keuntungan kapital (capital gain). Dalam hal ini Keynes berpendapat bahwa
seseorang akan mempunyai anggapan adanya “tingkat bunga normal” pada suatu waktu.

Nuhfil Hanani 27


Bentuk yang sederhana dari fungsi permintaan uang agregat dari teori Keynes dapat ditulis
sebagai : MD = [ kQ + ∅ ( r )] P atau MD/P = kQ + ∅ ( r ) , dimana MD/P = permintaan
uang riel; kQ = permintaan uang untuk transaksi dan berjaga-jaga;
∅ ( r ) = permintaan uang untuk spekulasi. Fungsi permintaan uang ini disebut juga sebagai
fungsi Liquidity Preference . Secara grafis penentuan tingkat bunga di pasar uang
digambarkan oleh perpotongan kurva Liquidity Preference dengan kurve penawaran uang (
Gb. 3.17.).




r
MS MS! Gb. 3.17.




r0

r1

MD (Q,r)


0 M




Bila uang yang beredar ditambah (dari MS ke Ms’ ), tingkat bunga cenderung turun ( dari r0
ke r1 ).


3.5. Perbandingan Antara Teori Ekonomi Klasik dan Keynesian
Dari uraian diatas, dapat diringkas bagaimana perbandingan antara teori ekonomi
makro Klasik dan Keynesian, sebagai berikut:

Teori Klasik
1. Pada Pasar Barang
♦ Tidak mungkin ada kelebihan/
kekurangan produksi.
♦ Produksi total masyarakat =
kebutuhan total masyarakat ( full
employment level of activity)
♦ Landasan berfikirnya :
a). Hukum Say : supply creates its
own demand.
b). Harga umum fleksibel

Teori Keynesian
1. Pada Pasar Barang
♦ Dapat terjadi kelebihan/kekurangan
produksi
♦ Tidak selalu mencapai “full
employment”

♦ Tidak menerima hukum Say.





♦ Setiap proses produksi mempunyai
dua akibat:
a). Menghasilkan output
b). Memberikan penghasilan kepa-
da pemilik faktor produksi yang
besarnya sama dengan nilai output.
♦ Semua penghasilannya dibelanja-
kan di pasar barang.
♦ Tadak perlu canpur tangan
pemerintah.

2. Di pasar Uang
♦ Menganut prinsip teori Kuantitas
Uang : Uang hanya untuk
transaksi.
♦ Penawaran uang ditentukan oleh
Pemerintah.
♦ Keseimbangan dalam pasar uang:
MS = MD = k PQ
3. Di Pasar Tenaga Kerja
♦ Tingkat upah fleksibel
♦ Selalu full employment
♦ Tidak perlu campur tangan
pemerintah dalam mengatasi
pengangguran.


Konsep Penting dalam bab Ini

Keynesianisme
Permintaan agregat
Pengeluaran agregat
Propensity to Consume
Propensity to Save
Marginal Effeciency of capital
Proses multiplier
Penawaran agregat

Nuhfil Hanani 28


♦ Sama dengan pendapat Klasik.






♦ Tidak semua penghasilan dibelan-
jakan, ada sebagian yang ditabung.
♦ Perlu campur tangan pemerintah.


2. Di Pasar Uang
♦ Terdapat tiga motif memegang
uang: (1) untuk transaksi, (2).
jaga-jaga, dan (3) spekulasi.
♦ Penawaran uang ditentukan oleh
pemerintah.
♦ Keseimbangannya :
MS = MD = [kQ +∅ r] P
3. Di Pasar Tenaga Kerja
♦ Tingkat upah rigit/tegar
♦ Tidak selalu full employment
♦ Perlu campur tangan pemerintah
dalam mengatasi pengangguran

Keseimbangan Pasar Barang dan Pasar Uang
Tingkat upah rigit
Fungsi Investasi
Fungsi Konsumsi
SUMBER: Nuhfil Hanani 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar